Rabu, 18 September 2024

"Jejak Dakwah di Beranda KUA: Sebuah Simfoni Kebersamaan"


Pagi ini, matahari masih lembut menyapa bumi saat kami, para Penyuluh Agama Islam dari KUA Kecamatan Margomulyo, duduk santai di beranda KUA. Hari ini, Rabu, 18 September 2024, seakan alam ikut berbahagia menyaksikan kami yang bercengkerama, membagi kisah, dan menyulam kenangan. 


Ada tawa yang terselip di antara cerita-cerita kami. Suka duka berdakwah menjadi tema yang menghangatkan obrolan. Masing-masing dari kami berbagi, tak hanya tentang hikmah yang kami sampaikan kepada jamaah, tetapi juga tentang tantangan tak terduga yang kerap mewarnai perjalanan dakwah kami. Seperti saat salah satu dari kami harus menepi di tengah hutan, ban motor bocor, tanpa ada tanda kehidupan di sekitar. Dalam sunyi dan hening, kami hanya bisa bersandar pada mukjizat Ilahi, dan alhamdulillah, bantuan datang tak terduga, seolah dikirim langsung dari langit.


Lalu, ada kisah mikrofon yang tiba-tiba konslet saat ceramah, menghantarkan sengatan kecil pada bibir saat berbicara. Alih-alih marah, kami hanya tertawa mengenang momen-momen kecil yang mendewasakan. Setiap pengalaman itu seakan menjadi cermin, mengingatkan kami bahwa dalam setiap langkah dakwah, ada sentuhan rahmat yang tak terhitung, bahkan di tengah kesulitan.


Canda klasik semacam itu tak pernah usang bagi kami. Meski sederhana, kisah-kisah itu menguatkan ikatan kami sebagai saudara sepenyuluh. Di beranda KUA ini, obrolan kami bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang kehidupan—tentang perjalanan dakwah yang tak hanya mengubah orang lain, tapi juga diri kami sendiri.


Di beranda KUA yang tenang ini, waktu seakan berhenti sejenak, membiarkan kami larut dalam cerita-cerita yang terjalin. Langit yang cerah dan angin yang lembut menyapa, menjadi saksi atas tawa dan kenangan yang kami bagikan. Setiap kisah terasa begitu dalam, seolah-olah melukis jejak-jejak dakwah yang penuh makna.

"Masih ingat saat ban bocor itu?" salah satu dari kami membuka percakapan. Semua tersenyum, mengenang perjalanan di tengah hutan yang sunyi, tanpa sinyal, tanpa petunjuk. Dalam gelap malam, hanya doa yang bisa kami panjatkan. Hingga tiba-tiba, seberkas cahaya muncul dari kejauhan, seorang bapak dengan lampu senter datang menawarkan bantuan. Kami semua tahu, itu bukan sekadar kebetulan, tapi bukti bahwa pertolongan Allah datang tepat pada saatnya.

Lalu cerita lain muncul, tentang mikrofon yang menyengat bibir saat ceramah. Tawa kecil mengiringi kenangan itu. Siapa sangka, di balik momen itu, tersimpan hikmah besar. Bagaimana tidak? Saat bibir tersentak oleh sengatan, ceramah tak berhenti, justru semakin khusyuk. Seolah Allah menguji kesabaran kami, dan kami, dengan segala keterbatasan, tetap bertahan menyampaikan pesan-Nya.

Dakwah kami mungkin sederhana di mata dunia, tapi bagi kami, setiap langkah adalah perjalanan spiritual yang mendalam. Di antara jalan yang kadang terjal, ada ketenangan yang hanya bisa ditemukan saat kami menyatu dengan tugas mulia ini. Setiap perjalanan, setiap kesulitan, dan bahkan setiap tawa yang kami bagi di beranda KUA ini, adalah anugerah tak ternilai.

Kami paham, menjadi seorang penyuluh bukan hanya soal menyampaikan nasihat, tetapi juga tentang menjalani hidup dengan penuh makna. Di balik canda dan tawa, ada rasa syukur yang mendalam—syukur karena diberi kesempatan untuk terus berjalan di jalan ini, syukur karena setiap hari kami belajar, tak hanya mengajarkan.

Langit di atas kami mulai beranjak senja, warna jingga menyelimuti cakrawala. Suasana syahdu menyusup ke dalam percakapan kami, membawa rasa hangat di hati. Di tengah kebersamaan ini, kami tahu, setiap kisah yang kami ceritakan adalah benang-benang yang mengikat hati kami. Seperti perjalanan dakwah yang terus berlanjut, begitu pula persaudaraan kami, semakin erat dengan setiap cerita, setiap langkah.

0 Post a Comment:

Posting Komentar